SHORT ! MESSAGE ??? SERVICE !

Seorang dosen terpekur sejenak setelah membaca SMS yang baru saja diterima. Pengirim SMS adalah salah seorang mahasiswa yang merasa kecewa terhadap kesalahan yang dibuat sendiri. “ Pak, aku mau ketemu bapak di kampus. Datang jam berapa ? Balas ! “ Sang dosen sempat berpikir …ini anak kesurupan, mabok atau gila ? Anak ini ingin bertanya atau memerintah ? Gaya bahasa yang dipakai sangat berantakan dan melewati batas-batas kesantunan. Akhirnya karena kesal, sang dosen menggerutu,” Dasar anak kurang ajar….! “

Peristiwa diatas, telah dialami oleh hampir setiap pemilik handphone. Guna mempersingkat waktu serta menekan biaya maka pesan singkat yang dikirimkan acap kali memusingkan dan menjengkelkan, sehingga maksud dan tujuan pengirim kurang bisa dipahami oleh sang penerima Akhirnya justru masalah baru yang muncul karena pesan singkat tersebut.
Handphone memang telah menjadi kebutuhan primer serta menyedot budget yang sejajar dengan kebutuhan makan, buku, pakaian, kendaraan dan rumah. Bahkan barang ajaib itu sudah merupakan ‘sekretaris pribadi’ yang mencatat berbagai kegiatan ( mis : jadwal kegiatan, agenda bisnis, kalkulasi gaji). Karena konsumen berpikir bahwa dengan fasilitas handphone yang murah, mampu mneyelesaikan berbagai masalah. Namun sayang, masih banyak konsumen yang kurang memahami etika ber- SMS. Mungkin perlu diingatkan bahwa menerima informasi melalui voice menimbulkan perasaan yang berbeda bila dibandingkan melalui SMS. Melalui calling langsung, penerima mengetahui karakter dan intonasi suara sang penelepon, sehingga masalah dan info yang diterima mampu dianalisis dan ditanggapi secara cepat tanpa argumentasi yang berat. Disamping itu, ilustrasi perasaan dan karakter seseorang dapat pula dipahami saat itu. Kemudian proses komunikasi dapat ‘dinetralisir’ sesuai dengan maksud masing-masing pribadi. Namun bila berkomunikasi melalui SMS ( Short Message Service ), penerima “dipaksa” untuk merasakan dan menafsirkan sendiri mengenai nada suara sang pemberi informasi. Bahasa dalam SMS bersifat datar dan pasif, sehingga sulit dipahami maksudnya. Penerima ‘berhak’untuk menterjemahkan maksud pesan, sesuai dengan mood seseorang pada saat itu. Sehingga sering kali maksud pengirim berbanding terbalik dengan penafsiran sang penerima. Bila hal ini mengerucut, maka salah paham dan kerunyaman masalah akan dituai.
Fenomena yang terjadi telah menunjukkan bahwa masyarakat kita masih cenderung pada Kebudayaan Spontan ( misal : berbicara langsung, bertatap muka ) daripada Kebudayaan Tertulis. Kebudayaan spontan lebih merupakan lip service atau acting untuk mengekspresikan pemikiran sesaat dari seseorang terhadap sesuatu dalam lingkup masyarakat individual maupun komunal. Sementara Kebudayaan Tertulis lebih sedikit atau kurang dipahami oleh berbagai pihak. Pada dasarnya , Kebudayaan Spontan cenderung hanya mampu dipahami oleh pelaku dan lingkupnya pada saat itu. Unsur waktu, pola pikir dan masalah menjadi hal yang terpenting serta mendukung ekspresi Kebudayaan Spontan. Maksud dari suatu ekspresi adalah fokus utama dari Kebudayaan Spontan, sehingga kepribadian sang pelaku tertuang dalam maksud tersebut. Sementara Kebudayaan Tertulis , memiliki jangkauan yang lebih jauh dan lebih luas yaitu mampu dipahami oleh berbagai kalangan dalam setiap zaman. Seperti yang telah dijelaskan diatas bahwa Kebudayaan Tertulis lebih bersifat pasif dan datar. Sisi emosi dan maksud sang pelaku tercermin secara jelas dalam setiap tulisan. Nilai kepribadian dan karakter menjadi tolok ukur sang penyampai pesan dalam Kebudayaan Tertulis. Di samping itu, Kebudayaan Tertulis berbicara banyak mengenai hal-hal yang tidak dapat diungkapkan ( misal : waktu, kondisi ). Bertolak dari kondisi tersebut, maka handphone merupakan salah satu sarana komunikasi yang berfungsi untuk menyampaikan informasi khususnya secara tertulis terhadap berbagai pihak. Isi pesan secara tertulis tersebut merupakan nilai penting yang diutamakan agar mampu dipahami oleh berbagai kalangan.
Pelajaran menulis surat tentu sudah diajarkan di tingkat SD, SMP, dan SMU. Namun ternyata sering kali etika menulis surat di era sekarang telah membuat orang–orang menggelengkan kepala. Barangkali menulis SMS tidak perlu terlalu panjang seperti menulis surat, namun pesan yang terkandung sangat penting guna mengungkapkan maksud. Hal ini memang tidak mudah, tapi justru akan melatih kita untuk berpikir singkat, mampu memilih kata dan praktis dalam mengungkapkan maksud serta menghadapi berbagai masalah. Dalam ber ber-SMS, kita sebaiknya mengingat mengenai Siapa yang dituju, kandungan Maksud, Nilai kesopanan dan Ketepatan pemilihan kata.
Sebagai alat komunikasi, Handphone lebih dipandang sebagai sarana gaul yang praktis, santai dan nyaman. Sehingga gaya berbicara yang gaul selalu sama dan terbawa kebiasaan saat menghadapi orang yang berbeda. Semua orang dianggap mampu memaklumi semua perilaku yang tercermin dengan eksistensi peralatan ajaib ini. Padahal kenyataan umum, publik tetap berpegang pada nilai kesopanan daripada maksud pesan singkat tersebut. Barangkali dengan melihat fenomena tadi, semua pihak dapat mulai untuk self koreksi mengenai sejauh mana etika komunikasi dapat dipahami dan diterapkan: apakah masih pada Kebudayaan Spontan ? Ataukah sudah menuju Kebudayaan Tertulis ? Ada tips kecil yang menarik untuk diingat bahwa : bila ber-SMS, bukan isi pesan yang menjadi tujuan, namun reaksi sang penerima pesan. Hal ini barangkali dianggap sepele namun ternyata membawa dampak yang cukup signifikan.